Ketika masa kecilnya, Nani Wartabone tak sampai hati melihat rakyat kecil dihukum, meski mereka tahanan ayahnya sekalipun. Ia benci sekolah karena guru-gurunya yang orang Belanda selalu mengagung-agungkan Negeri Belanda setinggi langit dan merendahkan tanah airnya.
Nani Wartabone (kanan) Para penambang gorontalo beserta pengawas tahun 1924 (kiri)
Persinggungannya dengan politik diawali saat ia menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Nani Wartabone juga menjadi pemimpin cabang Partai Nasional Indonesia (PNI) di daerahnya.
Kala itu, tersiar kabar bahwa tentara sekutu kalah perang di Asia Pasifik oleh Jepang. Pihak Belanda berencana membakar gudang-gudang kopra dan minyak yang ada di Gorontalo.
Nani Wartabone yang tahu dengan rencana Belanda ini langsung menggerakkan rakyat Gorontalo untuk menghalangi dan menggagalkannya. Ia dan rakyat menangkapi para pejabat Belanda yang masih ada sebelum Jepang masuk ke Gorontalo. Nani Wartabone bersama rakyat pun bergerak mengepung kota.
Akhirnya, Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah. Selesai penangkapan, Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih yang diiringi lagu "Indonesia Raya" di halaman Kantor Pos Gorontalo, tepatnya tanggal 23 Januari 1942, tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Peristiwa saat itu dikenal sebagai Hari Patriotik, sebutan lainnya proklamasi kecil.
Kantor pos Gorontalo
Perjuangan Nani Wartabone bukan merupakan sebuah dongeng belaka, melainkan bagian dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam medan pertempuran Nani Wartabone hanya menggunakan senjata tradisional, sebuah tombak dan pedang. Peralatan seadanya, tetapi dengan kegigihan dan usaha, mampu menumpas penjajah yang saat itu bersenjata lengkap.
Staf Jacobson van den Berg & Co di Gorontalo
Kemudian, Nani Wartabone juga pernah diikat kaki dan tangannya menggunakan tali lalu dikerek dengan mobil, tetapi para penjajah Belanda tidak mampu menarik tubuh Nani Wartabone.
Sebulan setelah proklamasi kemerdekaan di Gorontalo, tentara Jepang datang dan melarang berkibarnya bendera Merah Putih. Nani Wartanobe kemudian mulai memimpin pergerakan untuk melawan kependudukan Jepang. Namun sayangnya, Nani tidak kuasa melawan kekuatan Negeri Matahari Terbit itu.
Nani Wartabone akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Manado pada tanggal 30 Desember 1943. Ia baru dilepaskan Jepang pada tanggal 6 Juni 1945 ketika tanda-tanda kekalahan Jepang dari sekutu mulai nampak.
Setelah menyerah kepada sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo. Hal itu terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945.
Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942.
Pada tanggal 28 Agustus 1945 Nani Wartabone dapat menguasai Telekomunikasi Radio Jepang, baru masa rakyat dapat mengetahui adanya Proklamasi Kemerdekaan RI yang diproklamirkan oleh Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, hal mana telah menambah semangat perjuangan di daerah Gorontalo.
Tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasioanal terdiri dari 17 orang. Selanjutnya pada bulan Agustus 1946 Nani Wartabone dijatuhi hukuman 15 tahun.
Pada tanggal 23 Desember, Nani Wartabone dibebaskan dari penjara Cipinang dengan syarat tidak diperbolehkan memasuki wilayah Indonesia Timur. Tahun 1958 dia pun memimpin penumpasan terhadap pemberontak Permesta di Gorontalo.
Laki-laki gagah perkasa dan pemberani ini meninggal di tempat kelahirannya, Suwawa, Gorontalo pada tanggal 03 Januari 1986, di usia 78 tahun dan dimakamkam di pemakaman keluarga di Gorontalo.
Tanda jasa/penghargaan yang pernah didapatkan oleh beliau antara lain Surat Penghargaan membantu gerakan Angkatan Perang RI; Perintis Kemerdekaan; Veteran Pejuang Kemerdekaan Indonesia; dan Bintang Mahaputra Utama.
Atas jasa-jasanya pula terhadap bangsa dan negara, Nani Wartabone mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 2003 silam. Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu menyerahkan gelar tersebut kepada ahli warisnya yang diwakili oleh salah satu anak laki-lakinya bernama Hi Fauzi Wartabone di Istana Negara pada 7 November 2003.
Untuk mengenang perjuangannya di kota Gorontalo telah dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo pada kejadian yang bersejarah pada 23 Januari 1942. Namanya juga diabadikan untuk Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara.
0 Komentar
Stop Komentar SPAM
Berkomentarlah dengan Sopan
Salam Anak Bangsa