Kala itu, Nabi Adam belum diturunkan ke bumi. Kala dimana hewan dan tetumbuhan satu sama lain, mampu bercakap-cakap layaknya manusia. Anehnya, hewan-hewan dimasa itu tidak seperti tampang & tabiat mereka dizaman sekarang. Misalnya ular, kepalanya ada dua. Musang kulitnya ditumbuhi bulu domba. Dan buaya-buaya justru takut air dan memilih hidup didarat.
Bahkan katak, terkenal dengan kebiasaannya membawa tempurung kelapa kemana-mana untuk menudunginya. Dan di zaman itu, kambing belum memiliki tanduk seperti kambing-kambing yang kita saksikan sekarang.
Meski demikian, hewan-hewan hidup dengan damai. Suasana tenteram tanpa kejahatan. Mereka saling menghargai satu sama lain. Hidup tolong-menolong. Jika seekor hewan membutuhkan sesuatu, maka hewan lain dengan senang hati akan membantu memenuhi kebutuhannya itu. Keadaan itu berlangsung sedemikian lama. Hingga sampai suatu hari..
Disebuah padang sabana yang ditumbuhi rerumputan hijau, seluruh binatang yang bermukim di jazirah Bugis terlihat berkumpul. Ada kerbau, rusa, anoa, ular, kambing, kera, dan segala jenis burung, termasuk burung tekukur ikut hadir. Yah, hari ini mereka menggelar musyawarah. Suasana pun riuh rendah.
Musyawarah dipimpin oleh seekor kerbau putih. Kerbau adalah hewan paling tua diantara semua hewan. Begitu tuanya, sampai-sampai seluruh helai bulu pada tubuhnya telah menjadi uban.
“Kawan-kawan bangsa hewan, tolong dengarkan saya“ teriak kerbau. Suasana yang tadinya ribut tiba-tiba berubah hening. Semua hewan sangat menghormati kerbau. Dia selama ini terkenal sebagai gurunya para hewan. Kerbaulah yang mengajarkan kepada anak-anak hewan berbagai macam ilmu yang berguna buat kehidupan mereka.
“Hari ini, sengaja saya memanggil kawan-kawan semua untuk sesuatu hal yang sangat penting“ kerbau melanjutkan ucapannya. “karena jumlah hewan semakin banyak, maka sudah saatnya kita menentukan siapa yang akan kita angkat untuk jadi pemimpin bangsa hewan. Ini penting kawan-kawan. Supaya hidup kita menjadi lebih teratur“
Suasana kembali ribut. Seluruh hewan terkejut dengan usul kerbau. Bukankah selama ini kita tidak terbiasa hidup dibawah pimpinan seseorang? kita adalah mahluk Tuhan paling merdeka di alam jagat raya ini? Pikir mereka. Namun sebagian besar hewan setuju. Ini ide yang sangat cemerlang. Demikian pendapat mayoritas yang hadir.
Ditengah keriuhan, musang berbulu domba mengacungkan tangannya. Ia mohon izin untuk berbicara. Kerbau mempersilahkannya. "Saya setuju dengan kerbau. Sudah saatnya kita punya pemimpin “ujar musang. Burung Beo juga ikut mengacungkan tangan. Saat berbicara, ia juga mengatakan “saya setuju pendapat Musang“
Lalu satu persatu hewan-hewan lainnya turut mengutarakan pendapatnya. Maka, saat matahari tepat diatas kepala, seluruh hewan akhirnya bermufakat untuk segera menunjuk salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin bangsa hewan.
“Lalu siapa yang akan kita tunjuk sebagai pemimpin “Tanya Kuda tiba-tiba mengejutkan. Semua kembali berguman riuh mendengar perkataan kuda.
Yah ! lalu siapa yang akan mereka tunjuk menjadi pemimpin diantara mereka? Hal ini susah-susah gampang. Karena mereka belum pernah punya pengalaman memilih lansung pemimpinnya. Ini adalah peristiwa pertama bagi mereka. Pertanyaan Kuda kini memusingkan seluruh hewan yang hadir.
Tanpa ada yang memperhatikan, dari atas punggung kambing, burung tekukur tiba-tiba berubah wajah mendengar gagasan si kuda. Ia hampir saja melonjak kegirangan. Tekukur mendadak mendapat dorongan yang kuat dalam hatinya untuk menjadi pemimpin bangsa hewan. Karena selama ini, burung tekukur merasa dirinyaah yang paling hebat diantara semua jenis hewan.
Kawan, tidak seperti burung tekukur yang kita saksikan di zaman sekarang, burung tekukur di zaman itu memiliki tanduk pada kepalanya. Tanduk itu kuat, keras, runcing dan tajam. Meski selama ini tekukur terkenal tak pernah jahat pada sesamanya hewan, namun tanduk itu membuatnya disegani oleh semua jenis hewan. Jangan sampai bila tekukur marah, tentu dengan mudah tekukur akan mencederai mereka dengan tanduknya itu.
Tekukur sebenarnya diam-diam bangga dan tinggi hati dengan kehebatannya itu. Dan kalau sekarang hendak diadakan pemilihan pemimpin bangsa hewan, maka ia merasa dirinyalah yang paling cocok untuk posisi itu. Namun hatinya was-was. Bagaimana jika hewan-hewan itu tidak memilihnya sebagai pemimpin?
Secara sepihak, tekukur mulai berprasangka buruk kepada kerbau. Jangan-jangan (lagi) kerbau berinisiatif menggelar musyawarah ini karena dirinyalah yang ngotot menjadi pemimpin?
Burung tekukur tak mau kecolongan, maka bersuaralah dia, “Bagaimana kalau pemimpin bangsa hewan dari kami bangsa burung. Bukankah jenis dan jumlah kami lebih banyak dibanding kalian semua?“
Mendengar perkataan tekukur yang terkesan congkak itu, seluruh binatang terhenyak. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketidaksenangan dan ketidaksetujuan. Perkataan tekukur telah menyinggung perasaan mereka. Mamun karena takut pada tekukur, mereka lebih baik memilih diam. Kecuali burung beo, ia berteriak ‘setuju! dengan usul tekukur....."
Ular berkepala dua yang berada disamping kerbau terlihat membisikkan sesuatu ketelinga kerbau. Kerbau mengangguk-angguk. Lalu berkata…
“Baiklah. Usul tekukur kita tampung. Tapi saya mengusulkan bagaimana kalau pemilihan kita tunda. Beri waktu kepada masing-masing dari kita untuk berpikir menentukan pilihan. Satu purnama lagi kedepan kita berkumpul disini untuk mengadakan pemilihan. Bagaimana?“ Sebelum hewan-hewan lainnya menyatakan sikap, burung beo mendahului menyatakan pendapatnya. Burung beo (lagi-lagi) menyatakan ‘setuju!‘ (juga) dengan usul kerbau itu.
Akhirnya seluruh hewan yang hadir sepakat dengan usul kerbau. Mereka pun kembali pulang kesarangnya masing-masing. Burung tekukur terpaksa ikut menyetujui. Meski dengan hati panas dan jengkel, utamanya pada kerbau.
Dalam perjalanan pulang, ular berkepala dua sengaja beriringan dengan tekukur. Dia tahu kalau tekukur marah dengan kejadian tadi. Dengan muka manis, ular berkepala dua mencoba menenangkan hati tekukur. “Sabarlah kawan. Sengaja aku arahkan kerbau untuk menunda pemilihan, agar kamu punya kesempatan untuk menggalang dukungan“ ujar ular. “Maksud kamu?“ Tanya tekukur balik. Ia curiga ular lah dalang dari penundaan tadi.
“Seandainya pemilihan lansung diadakan tadi, maka dapat kupastikan kerbau yang akan mendapat dukungan terbanyak“ urai ular. Benar juga. Batin tekukur dalam hati. “Jadi apa yang harus saya lakukan sekarang?“ Tanya tekukur lagi. Ular menggoyang-goyangkan kepalanya berlagak seperti penari India.
“Mulai hari ini, kamu harus mendatangi semua rumah hewan, kawan. Minta mereka untuk memilihmu pada saat pemilihan nanti. Jika mereka menolak, saya pikir tanduk kamu itu akan membuat mereka tidak berani macam-macam“
“Betul ! betul sekali kata-katamu itu“ tekukur mengangguk-angguk. Ia senang karena telah mendapatkan solusi. Kalau perlu ia akan mengancam mereka dengan tanduknya. Nafsu untuk segera menjadi pemimpin bangsa hewan menari-nari dipelupuk matanya. Tekukur telah dibutakan oleh keinginan berkuasa. Ia tak lagi peduli dengan segala macam etika dan norma kebaikan bangsa hewan yang mereka anut selama ini.
Sejak itu, tekukur setiap hari mendatangi satu persatu rumah hewan. Bila ada hewan yang menolak, ia bahkan tidak segan-segan mengancam mereka dengan tanduknya yang runcing. Hewan-hewan ketakutan. Bahkan bangau, rusa dan kuda dibuat cedera pada punggungnya oleh tusukan tanduk tekukur, hanya karena ketiga binatang ini terang-terangan melawan dan menolak.
Suasana hutan yang damai pun berubah. Tekukur telah berubah menjadi momok menakutkan. Dalam hati, kerbau merasa bersalah telah mengajukan usul untuk memilih pemimpin. Ia tidak membayangkan kalau keinginan untuk menggelar pemilihan pemimpin bagi bangsa hewan akan berdampak teramat buruk bagi kehidupan mereka.
Hari berganti hari. Siang berganti malam. Tekukur tak henti menebar ancaman. Tekukur telah berubah menjadi sosok jahat. Menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Tak tahan dengan tingkah tekukur. Sekumpulan binatang berinisiatif datang menemui kerbau. Mereka menggelar rapat sembunyi-sembunyi dirumah kerbau.
“Ini tak bisa dibiarkan. Tekukur semakin zhalim dan semena-mena. Kita harus menghentikannya“ ujar kuda terengah-engah. Kepada seluruh yang hadir, tak lupa dia memperlihatkan cedera pada punggungnya. Bukti nyata kejahatan tekukur.
“Tapi bagaimana? Siapa yang berani melawan tanduknya“ keluh Rusa. Ia sendiri telah merasakan ketajaman tanduk tekukur dua hari lalu. Kerbau tampak berpikir dengan sangat serius . Otaknya berputar-putar mencari akal. Dan akhirnya.., “Aku punya akal!“ tanpa sadar ia berteriak karena girangnya.
“Kekuatan tekukur ada pada tanduknya. Jadi untuk melumpuhkannya, maka kita harus mengambil tanduk itu terlebih dahulu“ urai kerbau singkat. “Tapi siapa yang berani mencabut tanduk itu. Kecuali kalau tekukur sendiri yang rela melepasnya. Dan kurasa mustahil tekukur akan memberikan tanduknya begitu saja“ sungut kuda kembali. Punggungnya sakit, namun hatinya lebih sakit lagi.
“Aku...! aku yang akan memintanya!“ kambing mengajukan dirinya. Lalu kambing melanjutkan. “Tekukur sangat percaya padaku. Selama ini akulah yang selalu menyediakan punggungku untuk ia tenggeri. Aku akan merayunya sampai ia mau melepas tanduknya itu“. “Kamu berani?“ Tanya serempak seluruh hewan disitu seolah tak percaya.
“Serahkan padaku. Lagipula aku sudah bosan ditenggeri oleh tekukur. Kadang ia buang hajat seenaknya saja dipunggungku. Seolah aku ini jamban baginya“ gerutu kambing.
Keesokan harinya kambing berjalan-jalan ke sabana. Seperti biasa. Disiang hari adalah waktu biasanya tekukur mencari kambing untuk ia tenggeri. Tak sampai sepeminum teh, tekukur datang, lalu hinggap dipunggung kambing. Kambing merasa sekaranglah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencananya. “Kawanku tekukur, tahukah kamu kalau selama ini aku bangga menjadi sahabatmu“ Kambing mulai merayu.
Tekukur menahan rasa senang atas pujian kambing kepadanya. “Mengapa begitu“ Tanya tekukur. “Karena kamu adalah hewan paling perkasa dinegeri kita. Kamu punya tanduk. Dan tanduk itu membuatmu takkan terkalahkan oleh siapapun“ kambing menambah rayuan gombalnya. “Betul katamu itu. Dengan tandukku ini, aku lah yang paling pantas menjadi pemimpin bangsa hewan“. “Betul kawan. Pada pemilihan nanti aku pastikan akan memberikan suaraku padamu“
Tekukur semakin mabuk pujian... “Tapi kawan…..” suara kambing pelan. “Kenapa?“ Tanya tekukur penasaran.
“Sebagai sahabat, bolehkah aku meminta sesuatu padamu? aku sudah lama memimpikan bisa merasakan bagaimana rasanya memakai tanduk perkasamu itu. Sudilah kiranya engkau meminjamkan tanduk itu padaku barang sekejap. Aku hanya ingin melihat penampilanku di air dengan tanduk itu“ mohon kambing dengan tatapan memelas.
Tekukur tampak bimbang. Ia khawatir melepas tanduknya itu. Namun pujian kambing dan wajahnya yang terlihat begitu polos cukup meyakinkan dimata tekukur. Belum lagi janji kambing untuk memberikan suara padanya di pemilihan kelak. Suara, itu yang penting.
“Hmmmmm, baiklah. Tapi cuma sekejap yah. Setelah bercermin disungai, kamu harus mengembalikan tandukku itu“ akhirnya tekukur pun luluh. Tekukur lalu melepas tanduknya. Kambing yang telah mengenakan tanduk tekukur pada kepalanya kemudian mohon izin kesungai untuk bercermin.
Namun, sampai malam menjelang kambing tak kunjung kembali. Tekukur mulai marah dan gelisah menunggu. Saat ia terbang berkeliling mencari tanduknya, seluruh hewan menolak memberitahukan keberadaan kambing. Mereka malah berbalik melawan. Mereka tak takut lagi pada tekukur. Mereka bahkan menertawakan tekukur yang tak punya tanduk lagi. Dengan perasaan campur aduk; malu, sedih, marah dan kecewa pada kambing, tekukur terbang.
Akhirnya tekukur menemukan kambing sementara asyik tidur dibawah pohon. Kedua tanduk tekukur kini melekat kuat dikepalanya Didorong rasa marah yang sangat, tekukur lansung menyerang si kambing dengan paruhnya, Kambing melonjak bangun dan balik menyerang tekukur dengan tanduk dikepalanya.
Tanpa tanduk dikepalanya, tekukur tak berdaya. Tekukur hanya mampu berteriak-teriak pilu dan menangis memohon agar kambing mengembalikan tanduknya.
“Tanrukkkuuu,….tanrukuuuuuuuuu,. tanrukkkuuuuuuu…” lolong tekukur. (dalam bahasa bugis, tanruk itu artinya tanduk). Kambing tidak mempedulikan rengekan tekukur. Malah ia balik mengejek tekukur.., “Weeheeheeek…weeeeeheeheeek…...”
Saat keduanya saling meneriaki, tiba-tiba, petir menggelegar diangkasa. Seluruh hewan panik dan berteriak-teriak saling memanggil satu sama lain dengan suara yang aneh. Sungguh, kini mereka tak lagi bisa bercakap seperti manusia. Harimau hanya bisa mengaum, kuda cuma meringkik, ular hanya sanggup mendesis.
Tahukah kamu kawan, saat itu juga, Tuhan telah mencabut kemampuan hewan untuk berbicara. Sebab kambing telah melanggar larangan untuk berbohong. Sebab kambing telah mengambil barang hewan lain dan tidak mengembalikannya. Maka dosa besar itu pun diganjar Tuhan dengan setimpal.
Sejak saat itu juga, hewan-hewan hanya mampu mengeluarkan satu bunyi khasnya masing-masing. Termasuk bunyi kambing yang diucapkannya terakhir kali yaitu ‘Weheeeheeeheekk..’ dan begitupun halnya dengan tekukur. Yah, dari sinilah awal mula bunyi tekukur yang khas dan terdengar merdu itu kawan.
"Tanrukkuuuuuu… tanrukkuuuuuuu….tanrukkuuuuuu…..!!!!!!!!!!!!!"
(Dongeng rakyat Sulawesi Selatan)
Meski demikian, hewan-hewan hidup dengan damai. Suasana tenteram tanpa kejahatan. Mereka saling menghargai satu sama lain. Hidup tolong-menolong. Jika seekor hewan membutuhkan sesuatu, maka hewan lain dengan senang hati akan membantu memenuhi kebutuhannya itu. Keadaan itu berlangsung sedemikian lama. Hingga sampai suatu hari..
Disebuah padang sabana yang ditumbuhi rerumputan hijau, seluruh binatang yang bermukim di jazirah Bugis terlihat berkumpul. Ada kerbau, rusa, anoa, ular, kambing, kera, dan segala jenis burung, termasuk burung tekukur ikut hadir. Yah, hari ini mereka menggelar musyawarah. Suasana pun riuh rendah.
Musyawarah dipimpin oleh seekor kerbau putih. Kerbau adalah hewan paling tua diantara semua hewan. Begitu tuanya, sampai-sampai seluruh helai bulu pada tubuhnya telah menjadi uban.
“Kawan-kawan bangsa hewan, tolong dengarkan saya“ teriak kerbau. Suasana yang tadinya ribut tiba-tiba berubah hening. Semua hewan sangat menghormati kerbau. Dia selama ini terkenal sebagai gurunya para hewan. Kerbaulah yang mengajarkan kepada anak-anak hewan berbagai macam ilmu yang berguna buat kehidupan mereka.
“Hari ini, sengaja saya memanggil kawan-kawan semua untuk sesuatu hal yang sangat penting“ kerbau melanjutkan ucapannya. “karena jumlah hewan semakin banyak, maka sudah saatnya kita menentukan siapa yang akan kita angkat untuk jadi pemimpin bangsa hewan. Ini penting kawan-kawan. Supaya hidup kita menjadi lebih teratur“
Suasana kembali ribut. Seluruh hewan terkejut dengan usul kerbau. Bukankah selama ini kita tidak terbiasa hidup dibawah pimpinan seseorang? kita adalah mahluk Tuhan paling merdeka di alam jagat raya ini? Pikir mereka. Namun sebagian besar hewan setuju. Ini ide yang sangat cemerlang. Demikian pendapat mayoritas yang hadir.
Ditengah keriuhan, musang berbulu domba mengacungkan tangannya. Ia mohon izin untuk berbicara. Kerbau mempersilahkannya. "Saya setuju dengan kerbau. Sudah saatnya kita punya pemimpin “ujar musang. Burung Beo juga ikut mengacungkan tangan. Saat berbicara, ia juga mengatakan “saya setuju pendapat Musang“
Lalu satu persatu hewan-hewan lainnya turut mengutarakan pendapatnya. Maka, saat matahari tepat diatas kepala, seluruh hewan akhirnya bermufakat untuk segera menunjuk salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin bangsa hewan.
“Lalu siapa yang akan kita tunjuk sebagai pemimpin “Tanya Kuda tiba-tiba mengejutkan. Semua kembali berguman riuh mendengar perkataan kuda.
Yah ! lalu siapa yang akan mereka tunjuk menjadi pemimpin diantara mereka? Hal ini susah-susah gampang. Karena mereka belum pernah punya pengalaman memilih lansung pemimpinnya. Ini adalah peristiwa pertama bagi mereka. Pertanyaan Kuda kini memusingkan seluruh hewan yang hadir.
Tanpa ada yang memperhatikan, dari atas punggung kambing, burung tekukur tiba-tiba berubah wajah mendengar gagasan si kuda. Ia hampir saja melonjak kegirangan. Tekukur mendadak mendapat dorongan yang kuat dalam hatinya untuk menjadi pemimpin bangsa hewan. Karena selama ini, burung tekukur merasa dirinyaah yang paling hebat diantara semua jenis hewan.
Kawan, tidak seperti burung tekukur yang kita saksikan di zaman sekarang, burung tekukur di zaman itu memiliki tanduk pada kepalanya. Tanduk itu kuat, keras, runcing dan tajam. Meski selama ini tekukur terkenal tak pernah jahat pada sesamanya hewan, namun tanduk itu membuatnya disegani oleh semua jenis hewan. Jangan sampai bila tekukur marah, tentu dengan mudah tekukur akan mencederai mereka dengan tanduknya itu.
Tekukur sebenarnya diam-diam bangga dan tinggi hati dengan kehebatannya itu. Dan kalau sekarang hendak diadakan pemilihan pemimpin bangsa hewan, maka ia merasa dirinyalah yang paling cocok untuk posisi itu. Namun hatinya was-was. Bagaimana jika hewan-hewan itu tidak memilihnya sebagai pemimpin?
Secara sepihak, tekukur mulai berprasangka buruk kepada kerbau. Jangan-jangan (lagi) kerbau berinisiatif menggelar musyawarah ini karena dirinyalah yang ngotot menjadi pemimpin?
Burung tekukur tak mau kecolongan, maka bersuaralah dia, “Bagaimana kalau pemimpin bangsa hewan dari kami bangsa burung. Bukankah jenis dan jumlah kami lebih banyak dibanding kalian semua?“
Mendengar perkataan tekukur yang terkesan congkak itu, seluruh binatang terhenyak. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketidaksenangan dan ketidaksetujuan. Perkataan tekukur telah menyinggung perasaan mereka. Mamun karena takut pada tekukur, mereka lebih baik memilih diam. Kecuali burung beo, ia berteriak ‘setuju! dengan usul tekukur....."
Ular berkepala dua yang berada disamping kerbau terlihat membisikkan sesuatu ketelinga kerbau. Kerbau mengangguk-angguk. Lalu berkata…
“Baiklah. Usul tekukur kita tampung. Tapi saya mengusulkan bagaimana kalau pemilihan kita tunda. Beri waktu kepada masing-masing dari kita untuk berpikir menentukan pilihan. Satu purnama lagi kedepan kita berkumpul disini untuk mengadakan pemilihan. Bagaimana?“ Sebelum hewan-hewan lainnya menyatakan sikap, burung beo mendahului menyatakan pendapatnya. Burung beo (lagi-lagi) menyatakan ‘setuju!‘ (juga) dengan usul kerbau itu.
Akhirnya seluruh hewan yang hadir sepakat dengan usul kerbau. Mereka pun kembali pulang kesarangnya masing-masing. Burung tekukur terpaksa ikut menyetujui. Meski dengan hati panas dan jengkel, utamanya pada kerbau.
Dalam perjalanan pulang, ular berkepala dua sengaja beriringan dengan tekukur. Dia tahu kalau tekukur marah dengan kejadian tadi. Dengan muka manis, ular berkepala dua mencoba menenangkan hati tekukur. “Sabarlah kawan. Sengaja aku arahkan kerbau untuk menunda pemilihan, agar kamu punya kesempatan untuk menggalang dukungan“ ujar ular. “Maksud kamu?“ Tanya tekukur balik. Ia curiga ular lah dalang dari penundaan tadi.
“Seandainya pemilihan lansung diadakan tadi, maka dapat kupastikan kerbau yang akan mendapat dukungan terbanyak“ urai ular. Benar juga. Batin tekukur dalam hati. “Jadi apa yang harus saya lakukan sekarang?“ Tanya tekukur lagi. Ular menggoyang-goyangkan kepalanya berlagak seperti penari India.
“Mulai hari ini, kamu harus mendatangi semua rumah hewan, kawan. Minta mereka untuk memilihmu pada saat pemilihan nanti. Jika mereka menolak, saya pikir tanduk kamu itu akan membuat mereka tidak berani macam-macam“
“Betul ! betul sekali kata-katamu itu“ tekukur mengangguk-angguk. Ia senang karena telah mendapatkan solusi. Kalau perlu ia akan mengancam mereka dengan tanduknya. Nafsu untuk segera menjadi pemimpin bangsa hewan menari-nari dipelupuk matanya. Tekukur telah dibutakan oleh keinginan berkuasa. Ia tak lagi peduli dengan segala macam etika dan norma kebaikan bangsa hewan yang mereka anut selama ini.
Sejak itu, tekukur setiap hari mendatangi satu persatu rumah hewan. Bila ada hewan yang menolak, ia bahkan tidak segan-segan mengancam mereka dengan tanduknya yang runcing. Hewan-hewan ketakutan. Bahkan bangau, rusa dan kuda dibuat cedera pada punggungnya oleh tusukan tanduk tekukur, hanya karena ketiga binatang ini terang-terangan melawan dan menolak.
Suasana hutan yang damai pun berubah. Tekukur telah berubah menjadi momok menakutkan. Dalam hati, kerbau merasa bersalah telah mengajukan usul untuk memilih pemimpin. Ia tidak membayangkan kalau keinginan untuk menggelar pemilihan pemimpin bagi bangsa hewan akan berdampak teramat buruk bagi kehidupan mereka.
Hari berganti hari. Siang berganti malam. Tekukur tak henti menebar ancaman. Tekukur telah berubah menjadi sosok jahat. Menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Tak tahan dengan tingkah tekukur. Sekumpulan binatang berinisiatif datang menemui kerbau. Mereka menggelar rapat sembunyi-sembunyi dirumah kerbau.
“Ini tak bisa dibiarkan. Tekukur semakin zhalim dan semena-mena. Kita harus menghentikannya“ ujar kuda terengah-engah. Kepada seluruh yang hadir, tak lupa dia memperlihatkan cedera pada punggungnya. Bukti nyata kejahatan tekukur.
“Tapi bagaimana? Siapa yang berani melawan tanduknya“ keluh Rusa. Ia sendiri telah merasakan ketajaman tanduk tekukur dua hari lalu. Kerbau tampak berpikir dengan sangat serius . Otaknya berputar-putar mencari akal. Dan akhirnya.., “Aku punya akal!“ tanpa sadar ia berteriak karena girangnya.
“Kekuatan tekukur ada pada tanduknya. Jadi untuk melumpuhkannya, maka kita harus mengambil tanduk itu terlebih dahulu“ urai kerbau singkat. “Tapi siapa yang berani mencabut tanduk itu. Kecuali kalau tekukur sendiri yang rela melepasnya. Dan kurasa mustahil tekukur akan memberikan tanduknya begitu saja“ sungut kuda kembali. Punggungnya sakit, namun hatinya lebih sakit lagi.
“Aku...! aku yang akan memintanya!“ kambing mengajukan dirinya. Lalu kambing melanjutkan. “Tekukur sangat percaya padaku. Selama ini akulah yang selalu menyediakan punggungku untuk ia tenggeri. Aku akan merayunya sampai ia mau melepas tanduknya itu“. “Kamu berani?“ Tanya serempak seluruh hewan disitu seolah tak percaya.
“Serahkan padaku. Lagipula aku sudah bosan ditenggeri oleh tekukur. Kadang ia buang hajat seenaknya saja dipunggungku. Seolah aku ini jamban baginya“ gerutu kambing.
Keesokan harinya kambing berjalan-jalan ke sabana. Seperti biasa. Disiang hari adalah waktu biasanya tekukur mencari kambing untuk ia tenggeri. Tak sampai sepeminum teh, tekukur datang, lalu hinggap dipunggung kambing. Kambing merasa sekaranglah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencananya. “Kawanku tekukur, tahukah kamu kalau selama ini aku bangga menjadi sahabatmu“ Kambing mulai merayu.
Tekukur menahan rasa senang atas pujian kambing kepadanya. “Mengapa begitu“ Tanya tekukur. “Karena kamu adalah hewan paling perkasa dinegeri kita. Kamu punya tanduk. Dan tanduk itu membuatmu takkan terkalahkan oleh siapapun“ kambing menambah rayuan gombalnya. “Betul katamu itu. Dengan tandukku ini, aku lah yang paling pantas menjadi pemimpin bangsa hewan“. “Betul kawan. Pada pemilihan nanti aku pastikan akan memberikan suaraku padamu“
Tekukur semakin mabuk pujian... “Tapi kawan…..” suara kambing pelan. “Kenapa?“ Tanya tekukur penasaran.
“Sebagai sahabat, bolehkah aku meminta sesuatu padamu? aku sudah lama memimpikan bisa merasakan bagaimana rasanya memakai tanduk perkasamu itu. Sudilah kiranya engkau meminjamkan tanduk itu padaku barang sekejap. Aku hanya ingin melihat penampilanku di air dengan tanduk itu“ mohon kambing dengan tatapan memelas.
Tekukur tampak bimbang. Ia khawatir melepas tanduknya itu. Namun pujian kambing dan wajahnya yang terlihat begitu polos cukup meyakinkan dimata tekukur. Belum lagi janji kambing untuk memberikan suara padanya di pemilihan kelak. Suara, itu yang penting.
“Hmmmmm, baiklah. Tapi cuma sekejap yah. Setelah bercermin disungai, kamu harus mengembalikan tandukku itu“ akhirnya tekukur pun luluh. Tekukur lalu melepas tanduknya. Kambing yang telah mengenakan tanduk tekukur pada kepalanya kemudian mohon izin kesungai untuk bercermin.
Namun, sampai malam menjelang kambing tak kunjung kembali. Tekukur mulai marah dan gelisah menunggu. Saat ia terbang berkeliling mencari tanduknya, seluruh hewan menolak memberitahukan keberadaan kambing. Mereka malah berbalik melawan. Mereka tak takut lagi pada tekukur. Mereka bahkan menertawakan tekukur yang tak punya tanduk lagi. Dengan perasaan campur aduk; malu, sedih, marah dan kecewa pada kambing, tekukur terbang.
Akhirnya tekukur menemukan kambing sementara asyik tidur dibawah pohon. Kedua tanduk tekukur kini melekat kuat dikepalanya Didorong rasa marah yang sangat, tekukur lansung menyerang si kambing dengan paruhnya, Kambing melonjak bangun dan balik menyerang tekukur dengan tanduk dikepalanya.
Tanpa tanduk dikepalanya, tekukur tak berdaya. Tekukur hanya mampu berteriak-teriak pilu dan menangis memohon agar kambing mengembalikan tanduknya.
“Tanrukkkuuu,….tanrukuuuuuuuuu,. tanrukkkuuuuuuu…” lolong tekukur. (dalam bahasa bugis, tanruk itu artinya tanduk). Kambing tidak mempedulikan rengekan tekukur. Malah ia balik mengejek tekukur.., “Weeheeheeek…weeeeeheeheeek…...”
Saat keduanya saling meneriaki, tiba-tiba, petir menggelegar diangkasa. Seluruh hewan panik dan berteriak-teriak saling memanggil satu sama lain dengan suara yang aneh. Sungguh, kini mereka tak lagi bisa bercakap seperti manusia. Harimau hanya bisa mengaum, kuda cuma meringkik, ular hanya sanggup mendesis.
Tahukah kamu kawan, saat itu juga, Tuhan telah mencabut kemampuan hewan untuk berbicara. Sebab kambing telah melanggar larangan untuk berbohong. Sebab kambing telah mengambil barang hewan lain dan tidak mengembalikannya. Maka dosa besar itu pun diganjar Tuhan dengan setimpal.
Sejak saat itu juga, hewan-hewan hanya mampu mengeluarkan satu bunyi khasnya masing-masing. Termasuk bunyi kambing yang diucapkannya terakhir kali yaitu ‘Weheeeheeeheekk..’ dan begitupun halnya dengan tekukur. Yah, dari sinilah awal mula bunyi tekukur yang khas dan terdengar merdu itu kawan.
"Tanrukkuuuuuu… tanrukkuuuuuuu….tanrukkuuuuuu…..!!!!!!!!!!!!!"
(Dongeng rakyat Sulawesi Selatan)
0 Komentar
Stop Komentar SPAM
Berkomentarlah dengan Sopan
Salam Anak Bangsa