Adsense

Asal Usul Penggunaan Bedug di Masjid yang Fungsinya Mengajak Umat Islam Melaksanakan Salat 5 Waktu

Tentang sejarah bedug. Sebenarnya akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan, maskimpoi, dan upacara minta hujan.

Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang dan sebagai penanda waktu.

Saat Belanda datang ke Nusantara, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam,”



Orang China juga punya andil. Seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke tentara yang mengiringinya.

Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

Keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisongo sekitar abad ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melaksanakan salat lima waktu. Karena sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara umumnya tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah bedug, yang dipukul sebelum azan dikumandangkan.

Memukul bedug, sepertinya merupakan tradisi lama. Pada 1659, ketika Wouter Schouten, seorang dokter kapal Belanda mengunjungi Ternate, dia mencatat penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang datang ke masjid. Dua tahun kemudian, ketika berada di Banten, dia melihat sebuah bedug dengan tinggi dan lebar delapan kaki di samping menara masjid. Suaranya terdengar bermil-mil sampai ke pegunungan.

Selain untuk memberi tahu warga desa atau kampung bahwa waktu salat sudah tiba, “… pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa serta hari raya haji... kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara" hal ini di tulis oleh peneliti sejarah Denys Lombard dalam bukunya : Nusa Jawa- Silang Budaya.

Belakangan, tak semua umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid-masjid. Ia lebih akrab dengan warga Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi kelompok musim Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah yang menganggap bedug bid’ah.

Penggunaan bedug juga sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di masjid-masjid karena diperlukan untuk syiar Islam. Perdebatan itu, selain soal-soal lainnya, masih mengemuka pada 1950-an dan 1960-an.

Ada upaya untuk menjembatani perbedaan yang berkaitan dengan hal semacam itu tapi tidak sepenuhnya berhasil. Sampai-sampai cendekiawan Nurcholish Madjid, yang pada 1970-an melontarkan desakralisasi, akhirnya berkesimpulan bahwa umat Muslim bukan hanya menyucikan bedug tapi sudah sampai menyucikan organisasi atau partai; partai mereka yang paling benar, paling suci.

Mirisnya, pertentangan itu masih bertahan hingga bertahun-tahun kemudian. Gara-gara bedug, pada 1987, warga Kampung Gunung Kembang di Tasikmalaya bersitegang. Seperti ditulis Sofyan Samandawai dalam Mikung: Bertahan dalam Himpitan, warga Persis menyerang praktik penggunaan bedug di masjid-masjid NU. Sebaliknya warga NU menyerang ijtihad yang dilakukan Persis. Konflik itu berlanjut hingga 1988, yang kemudian diselesaikan dengan pembagian wilayah Kampung Gunung Kembang secara administratif.

Bahkan tokoh teroris terkenal Imam Samudra, pelaku Bom Bali I pernah merusak bedug masjid di desanya, Kampung Lopang Gede, Serang, Banten. Dia melakukannya karena menganggap bedug adalah peninggalan Hindu dan bid'ah.

Perdebatan mengenai bedug sekarang mulai mereda. Karena peran bedug sudah tergantikan dengan pengeras suara. Tapi ada sejumlah masjid yang tetap menabuhkan bedug dan kentongan sebagai pembuka azan. Ia juga dianggap sebagai praktik budaya dan seni, yang ditabuhkan untuk menyambut bulan Ramadan dan Idulfitri.




Sumber : Tahukah Kalian?

Posting Komentar

7 Komentar


  1. thank you very much gan on information that has been posted, I am personally very impressed with your article I wait for the next update ^^
    Obat Amandel Yang Sudah Bengkak Dan Parah

    BalasHapus
  2. http://www.ifoell.blogspot.com/search?updated-max=2013-05-12T11%3A21%3A00%2B07%3A00&max-results=4#PageNo=3

    BalasHapus
  3. http://www.ifoell.blogspot.com/search?updated-max=2013-05-12T11%3A21%3A00%2B07%3A00&max-results=4#PageNo=3

    BalasHapus






  4. because you have to share information about your experince article I say thank you, and we wait for further information ^^

    Cara mengobati TBC pada wanita hamil secara alami

    BalasHapus


  5. already several times I refer to the article you are currently manage it turns out after I see the results are very good for the insight or knowledge I

    thank you very much ^^
    Pengobatan gondok beracun sampai sembuh secara alami

    BalasHapus

Stop Komentar SPAM
Berkomentarlah dengan Sopan
Salam Anak Bangsa